Beliau adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam dengan mutiara Ilmu Laduni. Beliau mensucikan manusia dengan Samudra Fitrah dan Kesalehannya. Beliau memuaskan dahaga jiwa dengan air dari dukungan spiritualnya. Seluruh dunia, termasuk samudra-samudra dan benua-benuanya berada dalam genggamannya Beliau adalah bintang yang dihiasi dengan mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali melalui napas sucinya. Beliau menghiasi bahkan semua sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasul-Allah (s). Cahayanya menembus semua setiap lapisan kegelapan. Hujah-hujahnya yang luar biasa menyingkirkan semua bisikan keraguan dari kalbu manusia. Keramatnya yang hebat membawa kembali kehidupan kepada kalbu-kalbu yang mati dan memberi makanan bagi jiwa-jiwa untuk kehidupan spiritualnya. Beliau dipelihara dalam Maqam Ghawtsul A`zham sejak beliau masih kanak-kanak dalam buaian. Beliau mengisap saripati Ilmu Gaib dari cangkir Makrifat. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Nabi terakhir, pastilah beliau akan menjadi seorang Nabi. Segala puji bagi Allah yang telah mengirim seorang Pembangkit Agama (mujaddid) seperti beliau. Beliau mengangkat kalbu manusia, membuatnya mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan bimbingannya dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi–bahkan bintang-binatang liar di hutan belantara. Beliau adalah Ghawts al-A`zham, Sulthan al-Awliya, Sang Kalung bagi semua Mutiara spiritual yang telah dianugerahkan di dunia ini dari Hadratillah. Melalui cahaya bimbingannya, Allah menjadikan yang baik menjadi yang terbaik dan mengubah hal buruk menjadi kebaikan.
Beliau adalah Imam bagi Tarekat ini dan Syekh dari Silsilah Keemasan dan yang terbaik dalam membawa silsilah para Khwajagan.
Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 H./1317 M, di desa Qasr al-`Arifan di dekat Bukhara. Allah mengaruniainya kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari mengenai rahasia dari tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi (q). Kemudian beliau diberi rahasia dan penguasaan tarekat ini oleh Syekhnya, Sayyid Amir al-Kulal (q). Beliau juga mempunyai koneksi secara Uwaysi terhadap Nabi (s), karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), yang telah mendahuluinya selama 200 tahun.
Awal Mula Bimbingannya dan Bimbingan bagi Awal Mulanya
Syah Naqsyband (q) berusia delapan belas tahun ketika beliau dikirim ke desa Samas untuk berkhidmah kepada Syekh Muhamad Baba as-Samasi (q), Syekh tarekat pada saat itu yang telah memintanya. Sejak awal khidmahnya kepada Syekh, beliau melihat keberkahan yang tak terhitung pada dirinya, dan dorongan yang tinggi untuk pengabdian dengan ikhlas. Dari masa mudanya beliau bercerita,
Aku bangun lebih awal, tiga jam sebelum Salat Subuh, mengambil wudu, dan setelah melakukan Salat Sunnah, aku lalu bersujud dan berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menghadapi kesulitan dan rasa sakit dari Cinta-Mu.” Kemudian aku melakukan Salat Subuh bersama Syekh. Pada suatu hari ketika beliau hendak keluar rumah, beliau memandangku dan berkata–seolah-olah beliau bersamaku ketika aku memanjatkan doa itu, “Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdoamu. Katakanlah, ‘Ya Allah, karuniakanlah rida-Mu kepada hamba yang lemah ini.’ Allah tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Merskipun Allah dalam hikmah-Nya dapat memberi suatu kesulitan kepada hamba-Nya untuk menguji mereka, namun demikian seorang hamba tidak boleh berdoa untuk berada dalam kesulitan. Ini tidak menghormati Tuhanmu.”
Ketika Syekh Muhammad Baba as-Samasi wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-`Arifan, dan ini merupakan cara Allah yang istimewa merawatku, karena aku tinggal dekat dengan Sayyid Amir Kulal (q). Aku tinggal dan bekhidmah padanya, dan beliau berkata bahwa Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) sejak lama telah mengatakan kepadanya, ‘Aku tidak akan senang bila engkau tidak merawatnya dengan baik.’ Pada suatu hari aku sedang duduk bersama seorang teman di dalam khalwat, kemudian Surga terbuka bagiku dan sebuah penglihatan yang besar muncul padaku dan aku mendengar sebuah suara yang mengatakan, ‘Apakah tidak cukup bagimu untuk meninggalkan semua orang dan datang sendiri ke Hadirat-Ku?’ Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke arah sungai dan menyeburkan diri di sana. Aku mencuci pakaianku dan salat dua rakaat dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya, aku merasa melakukannya di Hadratillah. Segala sesuatu terbuka dalam kalbuku dengan kondisi kasyf. Seluruh alam semesta lenyap dan aku tidak menyadari apa-apa selain daripada salat di Hadirat-Nya.
Pada awal Maqam Ketertarikanku, aku ditanya, ‘Mengapa engkau memasuki Jalan ini?’ Aku menjawab, ‘Agar apapun yang kukatakan dan apapun yang kuinginkan akan terjadi.’ Aku dijawab, ‘Hal itu adalah mustahil. Apapun yang Kami katakan dan apapun yang Kami inginkan akan terjadi.’ Kemudian aku menjawab, ‘Aku tidak bisa melakukannya. Aku harus diizinkan untuk berkata dan melakukan apapun yang kusukai, kalau tidak, aku tidak menginginkan Jalan ini.’ Kemudian aku menerima jawaban, ‘Tidak, yang berlaku adalah apapun yang Kami ingin katakan dan apapun yang ingin Kami lakukan itu harus dikatakan dan dilakukan.’ Dan aku katakan lagi, ‘Apapun yang aku katakan dan apapun yang aku lakukan harus terjadi.’ Kemudian aku ditinggalkan sendiri selama lima belas hari, hingga aku mengalami depresi luar biasa. Kemudian aku mendengar suara, ‘Wahai Baha’uddin, apapun yang kau inginkan akan Kami berikan.’ Aku sangat bergembira. Aku berkata, ‘Aku ingin diberikan tarekat (jalan) yang akan mengantarkan setiap orang yang menjalaninya sampai langsung ke Hadratillah.’ Dan aku mengalami penglihatan spiritual dan mendengar suara yang mengatakan, ‘Apa yang kau minta sudah dikabulkan.’
Kemajuan dan Perjuangannya dalam Tarekat
Syah Naqsyband (q) mengatakan,
Pada suatu ketika aku sedang mengalami ekstase dan dalam keadaan tanpa kesadaran, bergerak ke sana ke mari, tidak menyadari apa yang aku lakukan. Kakiku robek dan berdarah akibat terkena duri-duri ketika malam tiba. Aku merasa diriku tertarik ke rumah Syekhku, Sayyid Amir Kulal (q). Saat itu malam sungguh gelap, tanpa bulan dan tanpa bintang. Udara sangat dingin dan aku tidak mempunyai apa- apa kecuali sebuah jubah kulit yang sudah usang. Ketika aku tiba di rumahnya, aku mendapati beliau sedang duduk dengan sahabat-sahabatnya. Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada murid-muridnya, ‘Bawa dia pergi, aku tidak menginginkannya di rumahku.’ Mereka membawaku keluar dan aku merasa bahwa egoku berusaha untuk menguasaiku dan mengambil alih kalbu dan perasaanku, berusaha meracuni kepercayaanku kepada syekhku. Pada saat itu hanya Rahmat Allah dan Kasih Sayang-Nya yang menjadi satu-satunya pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah dan Demi Syekhku. Aku berkata kepada egoku, ‘Aku tidak akan membiarkan engkau meracuni kepercayaanku kepada Syekhku.’ Aku merasa sangat lelah dan tertekan sehingga aku meletakkan keadaan tawaduk di depan kesombongan, dengan menempatkan kepalaku di ambang pintu guruku, dan aku bersumpah bahwa aku tidak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara beku mulai menembus tulangku, membuatku menggigil di tengah gelapnya malam. Saat itu bahkan tidak ada cahaya bulan untuk menghangatkankut. Aku tetap berada dalam posisi itu hingga aku membeku. Tetapi cinta di dalam kalbuku, cinta bagi Syekhku, cinta bagi pintunya membuatku tetap hangat. Subuh pun tiba dan Syekhku melangkahkan kakinya dari pintunya tanpa melihatku secara fisik. Beliau meletakkan kakinya di kepalaku yang masih berada di ambang pintunya. Merasakan adanya kepalaku, beliau segera menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, engkau telah dibusanai dengan Busana Kebahagiaan. Kau telah dibusanai dengan Busana Cinta Ilahi. Kau telah dibusanai dengan busana yang belum pernah kudapat, begitu pula dengan Syekhku. Allah rida denganmu. Nabi (s) rida denganmu. Semua Syekh dalam Silsilah Keemasan rida denganmu…’ Kemudian dengan telaten dan hati-hati beliau mencabuti duri-duri di kakiku dan membersihkan luka-lukaku. Pada saat yang sama beliau mencurahkan ilmu yang belum pernah kualami sebelumnya ke dalam kalbuku. Hal ini membukakan bagiku suatu penglihatan di mana aku melihat diriku memasuki rahasia MUHAMMADUN RASULULLAH. Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqat Muhammadiyya yang mengantarkan aku memasuki rahasia LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari Wahdaniyyah (Keunikan Allah). Kemudian ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia Asmaullah wal Sifaat yang diekspresikan oleh Rahasia Ahadiyya (Keesaan Allah). Maqam-maqam itu tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat diketahui melalui rasa di dalam kalbu.
Pada awal perjalananku di tarekat ini, aku sering bepergian di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, terutama di musim dingin, aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari orang-orang yang telah meninggal. Pada suatu malam aku dibimbing untuk mengunjungi makam Syekh Ahmad al-Ajgharawa (q) untuk membacakan Surat al- Fatihah untuknya. Ketika aku tiba, aku mendapati dua orang pria yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka lalu menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilang pedang di sabukku.
Merka lalu mengarahkan kudanya ke makam Syekh Mazdakhin (q). Ketika kami tiba, kami semua turun dari kuda dan masuk ke dalam kompleks makam dan masjid Syekh tersebut. Aku duduk menghadap kiblat, bertafakur dan menyambungkan kalbukukepada kalbu syekh itu. Selama muraqabah ini sebuah penglihatan spiritual dibukakan bagiku dan aku melihat sebuah dinding yang menghadap kiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seorang yang sangat besar, begitu besarnya sehingga tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya–duduk di singgasana itu. Aku merasa bahwa aku mengenalinya. Ke manapun aku palingkan wajahku di alam semesta ini, yang kulihat adalah wajahnya. Di sekelilingnya ada sekelompok orang termasuk syekhku, Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) dan Sayyid Amir Kulal (q). Kemudian aku merasa takut pada sosok yang tinggi besar itu, tetapi pada saat yang sama aku juga merasakan cinta padanya. Aku merasa takut akan hadiratnya yang mulia tetapi cinta dengan keindahan dan daya tariknya. Aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Siapa gerangan manusia yang agung itu?’ Aku mendengar suara di antara kerumunan orang itu yang mengatakan, ‘Manusia agung yang telah membesarkanmu di jalur spiritualmu ini adalah Syekhmu. Beliau melihat jiwamu ketika masih berupa atom di Hadratillah. Engkau berada di bawah bimbingannya. Beliau adalah Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) dan kerumunan orang yang engkau lihat adalah khalifah-khalifah yang membawa rahasia besarnya, rahasia dari Silsilah Keemasan.’ Kemudian Syekh itu mulai menunjuk pada setiap syekh di sana sambil berkata, ‘Ini adalah Syekh Ahmad (q); ini adalah Kabir al-Awliya (q); ini adalah `Arif Riwakri (q); ini adalah Syekh Ali Ramitani (q); ini adalah syekhmu, Muhammad Baba as-Samasi (q), yang semasa hidupnya pernah memberikan jubahnya kepadamu. Apakah kau mengenalinya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’
Kemudian beliau berkata lagi padaku, ‘Jubah yang diberikan kepadamu dulu masih ada di rumahmu, dan dengan keberkahannya, Allah telah menghilangkan banyak penderitaan dari kehidupanmu.’ Kemudian suara lainnya berkata, ‘Syekh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan dalam perjalanan di jalan ini.’ Aku bertanya apakah aku diperbolehkan untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan menyingkirkan hijab di antara kami, dan aku mengambil tangannya. Beliau lalu mengatakan kepadaku mengenai suluk, bagian awal, tengah, dan akhirnya. Beliau berkata, ‘Kau harus membenahi sumbu yang ada di dalam dirimu sehingga cahaya dari alam gaib dapat diperkuat di dalam dirimu dan rahasia-rahasinya dapat terlihat. Kau harus menunjukkan isitiqamah dan kau harus teguh dalam menjalani Syari`at Nabi (s) dalam seluruh keadaanmu. Kau harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. [3:110, 114] dan menjaga standard tertinggi bagi Syari`at, meninggalkan keringanan (rukshah) dan menyingkirkan bid`ah dalam semua bentuk, dan menjadikan Hadits Nabi (s) sebagai kiblatmu. Kau harus mempelajari sirahnya (kehidupan Nabi (s)) dan sirah para Sahabatnya, dan mendorong orang untuk mengikuti hal itu dan untuk membaca al-Qur’an siang dan malam, dan melakukan salat dengan semua salat nawafilnya. Jangan mengabaikan bahkan hal terkecil dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan yang mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi (s) kepada kita.
Segera setelah Syekh `Abdul Khaliq (q) selesai, khalifahnya berkata kepadaku, ‘Agar yakin dengan kebenaran penglihatan ini, beliau mengirimkan sebuah tanda bagimu. Besok pergilah dan temui Mawlana Syamsuddin al-Ambikuti, yang akan menghakimi dua orang. Katakanlah bahwa si Turki adalah yang benar, sedangkan si Saqqa adalah yang salah. Katakan kepadanya, ‘Kau berusaha untuk membantu si Saqqa, tetapi kau keliru. Perbaiki dirimu dan bantulah si Turki.’ Jika si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan hakim terus membantu si Saqqa, katakan padanya, ‘Aku mempunyai dua bukti. Yang pertama kau harus mengatakan kepada si Saqqa, ‘Wahai Saqqa, engkau haus.’ Ia akan mengerti apa maksudnya. Untuk bukti kedua, kau harus mengatakan kepada si Saqqa, ‘Kau telah berzina dengan seorang wanita dan ia menjadi hamil, kau gugurkan bayi dalam kandungan itu dan kau kuburkan di bawah pohon pinus.’ Dalam perjalananmu menemui Mawlana Syamsuddin, bawalah tiga butir kismis kering dan singgahlah di rumah syekmu, Sayyid Amir al- Kulal (q). Dalam perjalanan itu kau akan menemui seorang syekh yang akan memberimu roti. Ambillah roti itu tetapi jangan berbicara dengan orang itu.
Lanjutkan perjalananmu sampai engkau menemui sebuah karavan. Seorang pegulat akan menghampirimu. Nasihati dia dan dekati dia. Ia akan bertobat dan menjadi salah satu pengikutmu. Pakailah qalansuwa (topi turban) dan bawalah jubah `Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (q).
Setelah itu mereka memindahkan aku dan penglihatan itu berakhir. Aku kembali pada diriku. Keesokan harinya aku pergi ke rumahku dan menanyakan tentang jubah yang disebutkan di dalam penglihatan itu kepada keluargaku. Mereka lalu membawakan jubah itu dan berkata, ‘Jubah ini sejak lama ada di situ.’ Ketika aku melihat jubah itu keharuan mendalam melanda diriku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, ke masjid Mawlana Syamsuddin. Aku melakukan salat Subuh bersamanya dan aku mengatakan mengenai tanda- tanda itu dan hal itu membuatnya terheran-heran. As-Saqqa hadir di sana dan ia menyangkal bahwa si Turkilah yang benar. Kemudian aku mengatakan kepadanya mengenai bukti-bukti itu. Ia menerima yang pertama tetapi menyangkal yang kedua. Kemudian aku mengajak orang-orang yang berada di dalam masjid untuk pergi ke sebuah pohon pinus di dekat masjid. Mereka menggali dan menemukan seorang bayi terkubur di sana. Si Saqqa menangis dan memohon maaf atas apa yang telah dilakukannya, tetapi hal itu sudah berakhir. Mawlana Syamsuddin dan orang lain yang berada di masjid sungguh sangat terheran-heran.
Aku lalu bersiap-siap untuk pergi keesokan harinya ke kota Naskh dan aku telah menyiapkan tiga butir kismis kering. Mawlana Syamsuddin berusaha menahanku dengan mengatakan, ‘Aku melihat di dalam dirimu ada rasa sakit akibat merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Obatmu berada di tangan kami.’ Aku katakan, ‘Wahai Syekhku, aku adalah putra seseorang yang lain dan aku adalah muridnya. Bahkan jika engkau menawariku untuk memeliharaku dari maqam yang lebih tinggi lagi, aku tidak dapat menerimanya, kecuali dari orang yang telah kuserahkan kehidupanku dan darinya aku mengambil bay’at.’ Ia lalu terdiam dan mengizinkan aku untuk pergi. Aku lalu berangkat sesuai dengan petunjuk yang telah kuterima sampai aku bertemu dengan soerang syekh dan ia memberiku roti.
Aku tidak berbicara dengannya. Aku mengambil sebantal roti darinya sebagaimana yang telah diperintahkan. Kemudian aku bertemu dengan sebuah karavan. Mereka bertanya kepadaku, dari mana aku berasal. Aku jawab, ‘Ambikata.’ Mereka bertanya kepadaku kapan aku berangkat. Aku jawab, ‘Saat matahari terbit.’ Mereka terkejut dan berkata, ‘Desa itu terletak bermil-mil dan memerlukan waktu yang panjang untuk menempuhnya. Kami meninggalkan desa itu kemarin malam sedangkan engkau pergi saat matahari terbit, tetapi engkau sudah sampai sekarang.’ Aku lalu melanjutkan perjalanan hingga aku bertemu dengan seorang penunggang kuda. Ia bertanya kepadaku, ‘Siapa engkau? Aku merasa takut padamu!’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku adalah seseorang di mana engkau akan bertobat di tanganku.’ Ia turun dari kudanya, menunjukkan ketawadukannya dan kemudian bertobat. Ia membuang semua khamar yang dibawanya. Ia lalu menemani aku menemui syekhku, Sayyid Amir Kulal (q). Ketika aku bertemu dengannya, aku menyerahkan jubah itu kepadanya.
Beliau berdiam diri selama beberapa saat dan kemudian beliau berbicara, ‘Ini adalah jubah `Azizan. Tadi malam aku diberitahu bahwa engkau akan membawakannya kepadaku, dan aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lembar kain penutup.’ Kemudian beliau memerintahkan aku untuk masuk ke kamar pribadinya. Beliau mengajariku dan meletakkan dzikir khafi di dalam kalbuku. Beliau memerintahkanaku untuk menjaga zikir itu siang dan malam. Sebagaimana aku telah diperintahkan di dalam penglihatanku ketika bertemu dengan Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) yang memintaku untuk menghindari keringanan (rukshah), maka aku menjaga zikir khafi itu–yang merupakan bentuk zikir tertinggi. Sebagai tambahan, aku juga sering menghadiri majelis para cendikiawan ilmu lahir untuk mempelajari Ilmu Syari`ah dan Hadits Nabi (s), serta mempelajari akhlak Nabi (s) dan para Sahabat. Aku melakukannya sebagaimana yang dikatakan dalam penglihatan itu, dan hal ini menghasilkan perubahan yang sangat besar di dalam kehidupanku. Semua yang telah diajarkan oleh Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani
(q) di dalam penglihatan itu menghasilkan buah yang penuh berkah di dalam kehidupanku. Ruh beliau selalu mendampingiku dan mengajariku.
Mengenai Zikir Khafi dan Zikir Jahar
Disebutkan di dalam kitab al-Bahjat as-Saniyya bahwa sejak zaman Syekh Mahmud al-Faghnawi (q) hingga zaman Sayyid Amir al-Kulal (q) mereka melakukan zikir jahar (dengan suara keras) pada saat mereka berada di dalam suatu majelis, dan zikir khafi ketika mereka sendiri. Namun ketika Syah Bahaudin Naqsyband (q) menerima rahasia ini, beliau hanya melakukan zikir khafi. Bahkan di dalam majelisnya Sayid Amir Kulal (q), ketika mereka mulai melakukan zikir jahar, beliau biasanya pergi ke kamarnya dan melakukan zikir khafi di sana. Hal ini membuat beberapa murid kecewa; meskipun syekhnya melakukan zikir jahar, beliau melakukan zikir khafi. Namun demikian beliau tetap berkhidmah kepada syekhnya sepanjang hidupanya.
Pada suatu hari, ketika Syah Baha’uddan (q) dan semua murid Sayyid Amir Kulal (q) sedang beristirahat dari pekerjaan membangun masjid baru, Sayyid Amir Kulal (q) berkata, “Barang siapa yang mempunyai prasangka buruk mengenai putraku Baha’uddin, ia adalah salah. Allah telah memberinya suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain sebelumnya. Bahkan aku pun tidak mengetahuinya.” Dan beliau berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q) ketika beliau memerintahkan aku untuk merawatmu dan melatihmu hingga engkau melebihiku.
Hal ini telah kulakukan, dan engkau mempunyai kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Jadi, wahai anakku tercinta, sekarang aku memberimu izin sepenuhnya untuk pergi ke manapun yang engkau inginkan dan meraih ilmu dari siapapun yang kau temui.”
Mengenai Syekh-Syekh Berikutnya
Beliau berkata,
Pada suatu ketika aku mengikuti Mawlana `Arif ad-Dik Karrani (q) selama tujuh tahun. Kemudian aku mengikuti Mawlana Kuthum Syekh selama bertahun-tahun. Pada suatu malam aku tertidur dalam hadirat syekhku dan aku melihat Syekh al- Hakim `Aththar (q), yang merupakan salah satu syekh termasyhur di Turki, mengatakan sesuatu kepada seorang darwis yang bernama Khalil Ghirani. Ketika aku terbangun, sosok darwis itu masih melekat di dalam pikiranku. Aku mempunyai seorang nenek yang saleh dan kepadanyalah kusampaikan mimpi itu. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, kau juga akan mengikuti banyak Syekh dari Turki.’ Jadi di dalam perjalananku aku mencari Syekh-Syekh dari Turki dan aku tidak pernah melupakan sosok darwis itu. Kemudian pada suatu hari di kampung halamanku di Bukhara, aku melihat ada seorang darwis dan ternyata ia adalah orang yang ada di dalam mimpiku. Aku tanyakan siapa namanya dan beliau berkata, ‘Aku adalah Khalil Ghirani.’ Aku harus meninggalkannya tetapi aku merasa sangat berat melakukannya. Pada saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seseorang yang asing mengatakan, ‘Darwis Khalil Ghirani sedang menunggumu.’ Aku sangat terkejut. Bagaimana orang itu dapat menemukan aku? Aku lalu menerima hadiah darinya dan kemudian pergi bersamanya. Ketika aku sampai di hadapannya, aku mulai menceritakan mimpiku. Beliau berkata, ‘Tidak perlu kau ceritakan mimpi itu. Aku sudah mengetahuinya.’ Hal ini membuat kalbuku semakin tertarik kepadanya. Bersamanya, ilmu gaib yang baru dibukakan di dalam kalbuku. Beliau selalu merawatku, memujiku dan mengangkatku. Orang-orang di Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja bagi mereka. Aku terus menemaninya, bahkan dalam kegiatan Kerajaannya, dan cinta di dalam kalbuku untuknya semakin bertambah dan kalbu beliau mengangkatku kepada ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku jalan berkhidmah kepada syekh. Aku menemaninya selama enam tahun. Baik ketika bersamanya maupun ketika sendiri, aku terus menjaga hubunganku dengannya.
Di awal perjalananku di dalam Tarekat ini, aku bertemu dengan seorang kekasih Allah dan beliau berkata kepadaku, ‘Tampaknya engkau berasal dari kami.’ Aku berkata kepadanya, ‘Aku berharap bahwa engkau berasal dari kami dan aku berharap dapat menjadi sahabatmu.’ Pada suatu ketika beliau bertanya kepadaku, ‘Bagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri?’ Aku menjawab, ‘Bila aku mendapatkan sesuatu, aku bersyukur kepada Allah tetapi bila tidak, aku bersabar.’ Ia tersenyum dan berkata, ‘Itu adalah mudah. Jalan bagimu adalah membebani egomu dan mengujinya. Jika ia tidak mendapat makanan selama satu minggu, kau harus mampu menjaganya agar ia tetap mematuhimu.’ Aku sangat senang dengan jawabannya dan aku meminta dukungannya. Beliau menyuruhku untuk membantu orang yang membutuhkan dan melayani orang yang lemah dan membesarkan hati orang yang putus asa. Beliau menyuruhku untuk tetap tawaduk dan bersikap toleran. Aku menjaga nasihatnya dan menjalani kehidupanku selama berhari-hari dengan cara seperti itu. Kemudian beliau menyuruhku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakit mereka, membersihkan luka-lukanya, dan membantunya untuk mendapatkan makanan mereka. Aku menjalankan hal ini sampai aku mencapai suatu keadaan di mana ketika aku melihat seekor binatang di jalanan, aku akan berhenti dan memberi jalan baginya.
Kemudian beliau menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing dari kelompok ini (anjing berhubungan dengan karakter ikhlas dan setia) dengan kejujuran dan ketawadukan, dan meminta dukungan dari mereka. Beliau berkata kepadaku, ‘Karena khidmahmu kepada salah satu di antara mereka, kau akan meraih kebahagiaan.’ Aku menjalani perintah itu dengan harapan bahwa aku akan menemui seekor anjing dan melalui khidmahku kepadanya aku akan meraih kebahagiaan itu. Pada suatu hari aku sedang berada dalam kelompok salah satu di antara mereka dan aku merasakan kebahagiaan yang sangat besar. Aku mulai menangis di depannya sampai ia berposisi telentang dan mengangkat kaki depannya ke langit. Aku mendengar suara yang amat lirih darinya sehingga aku pun mulai mengangkat tanganku untuk mengucapkan ‘amin’ mendukung doanya sampai ia terdiam. Apa yang kemudian dibukakan bagiku adalah suatu penglihatan di mana aku merasa bahwa aku adalah bagian dari setiap manusia dan bagian dari seluruh makhluk di bumi ini.
Setelah Memakai Jubah
Beliau berkata,
Pada suatu hari aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan (di mana masjid dan makam beliau berada sekarang), dengan memakai jubah Azizan dan di sekelilingku berkumpul para pengikutku. Tiba-tiba aku terhanyut dengan Daya Tarik dan Berkah Surgawi, dan aku merasa bahwa aku telah dibusanai dengan Sifat-Nya. Belum pernah aku segemetar ini sebelumnya, dan aku tidak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap kiblat dan aku memasuki suatu penglihatan besar di mana aku melihat diriku melebur sepenuhnya dan aku tidak melihat wujud lain kecuali Tuhanku.
Kemudian aku melihat diriku keluar dari Hadratillah-Nya memantul melalui Cermin MUHAMMADUN RASULULLAH, dalam sosok sebuah bintang di Samudra Cahaya tanpa awal dan tanpa akhir. Kehidupan lahirku berakhir dan aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASULULLAH. Hal ini mengantarkan aku menuju makna inti sari Asma ‘Allah’ yang kemudian membawaku kepada Ghaib Mutlak, yang merupakan inti sari dari Asma ‘Huwa’ (Dia). Ketika aku memasuki samudra itu kalbuku berhenti berdenyut dan seluruh kehidupanku berakhir, membuatku berada dalam keadaan mati. Ruhku meninggalkan tubuhku dan semua orang yang berada di sekitarku berpikir bahwa aku telah meninggal dunia dan mereka semua menangis. Kemudian setelah enam jam aku diperintahkan untuk kembali ke tubuhku. Aku merasakan ruhku kembali memasuki tubuhku dan penglihatan itu berakhir.
Menyangkal keberadaanmu dan mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku di dalam Tarekat ini. Dengan keadaan ini aku memasuki setiap level eksistensi sehingga membuatku menjagi bagian dari seluruh makhluk dan mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku. Aku melihat bahwa setiap orang memberikan manfaat dan hanya aku sendiri yang tidak bermanfaat. Pada suatu hari aku mengalami suatu keadaan yang mengejutkan. Aku mendengar Hatif Rabbani, Suara Ilahiah yang mengatakan, ‘Mintalah apapun yang kau inginkan dari Kami.’ Jadi aku meminta dengan rendah hati, ‘Ya Allah, karuniakanlah aku setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.’ Jawaban yang muncul, ‘Kau hanya meminta setetes dari Kemahamurahan Kami?’ Hal ini bagaikan tamparan keras di wajahku dan sengatannya terasa di pipiku hingga beberapa hari. Kemudian pada suatu hari aku berkata, ‘Ya Allah, karuniakanlah aku dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu Kekuatan untuk membawanya.’ Pada saat itu sebuah penglihatan dibukakan bagiku di mana aku duduk di sebuah singgasana dan samudra itu berada di atas Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, ‘Samudra Rahmat itu adalah untukmu. Berikan kepada hamba-hamba-Ku.’
Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, terutama dari Uwais al-Qarani (r), yang sangat mempengaruhiku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan merekatkan diriku kepada urusan spiritual. Aku melakukan hal ini dengan menjaga Syari`ah dan perintah Nabi (s), hingga ku mulai menyebarkan Ilmu Gaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelumnya.
Keajaiban dari Perkataannya dan Perkataan mengenai Keajaibannya Mengenai Perbedaan di antara Imam
Dalam sebuah pertemuan ulama-ulama besar di Baghdad, beliau ditanya mengenai perbedaan dalam perkataan keempat khalifah Nabi Suci (s). Beliau lalu berkata,
Pada suatu hari Ash-Shiddiq (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di depannya,’ dan Umar al-Faruq (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali bahwa Allah di belakangnya,’ dan `Utsman (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di sampingnya,’ dan `Ali (r) berkata, ‘Aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali bahwa Allah di dalamnya.’” Beliau mengomentari bahwa “Perbedaan di antara perkataan-perkataan ini didasari pada perbedaan situasi pada saat mereka bicara, bukannya perbedaan dalam keyakinan atau pemahaman.”
Mengenai Berjalan dalam Tarekat
Beliau berkata,
Apakah yang ada di balik makna hadits Nabi (s), ‘Menghilangkan sesuatu yang membahayakan dari jalan adalah bagian dari iman’? Apa yang beliau maksud dengan ‘sesuatu yang membahayakan’ adalah ego (nafs), dan yang beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan menuju Allah, sebagaimana Dia mengatakan kepada Bayazid al-Bisthami (q), ‘Tinggalkanlah egomu dan datanglah kepada Kami.’
Pada suatu ketika beliau ditanya, “Apa yang dimaksud dengan Suluk?” Beliau berkata, “Detailnya dalam ilmu spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah ‘detail dalam ilmu spiritual?’” Beliau menjawab, “Orang yang mengetahui dan menerima apa yang ia ketahui akan diangkat dari maqam hujah dan bukti menuju maqam penglihatan.”
Beliau berkata,
Barang siapa yang ingin berada di Jalan Allah berarti ia telah meminta jalan yang penuh penderitaan. Diriwayatkan oleh Nabi (s) bahwa, “Barangsiapa yang mencintaiku, aku akan membebaninya.” Seseorang datang menemui Nabi (s) dan berkata, ‘Wahai Nabi, aku mencintaimu,’ dan Nabi (s) menjawab, “Maka siapkanlah dirimu untuk menjadi fakir.’ Kemudian di waktu yang lain ada seseorang yang mendatangi Nabi (s) dan berkata, ‘Wahai Nabi, aku mencintai Allah,’ kemudian Nabi (s) bersabda, ‘Maka persiapkan dirimu untuk penderitaan.’ Beliau membacakan sebuah syair,
Setiap orang mendambakan kebaikan, Tetapi tidak ada yang meraih Kenaikan, Kecuali dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan. Beliau berkata,
Setiap orang yang menyukai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan selain dirinya, pada hakikatnya ia hanya menginginkan dirinya sendiri.
Mengenai Latihan Spritual
Beliau berkata,
Ada tiga jalan di mana orang-orang Arif mencapai ilmu mereka:
- Muraqabah – Kontemplasi
- Musyahadah – Penglihatan
- Muhasabah – Introspeksi diri
Dalama keadaan muraqabah, seorang salik melupakan makhluk dan hanya mengingat Sang Pencipta.
Dalam keadaan musyahadah, seorang salik memperoleh ilham dari alam gaib yang masuk ke dalam kalbunya dengan dua keadaan, yaitu: kontraksi dan ekspansi.
Dalam kondisi kontraksi, penglihatannya dari al-Jalaal, sedangkan dalam keadaan ekspansi dari al-Jamaal.
Dalam keadaan muhasabah, seorang salik mengevaluasi setiap waktu yang telah ia lewati, apakah ia hadir sepenuhnya bersama Allah atau hadir sepenuhnya bersama dunia?
Beliau berkata,
Seorang salik dalam tarekat ini harus menyibukkan diri dalam menolak bisikan setan dan godaan egonya. Ia dapat menolaknya sebelum mereka sampai padanya; atau ia menolaknya setelah mereka sampai padanya tetapi sebelum mereka dapat menguasainya. Namun demikian ada juga salik yang tidak menolaknya setelah mereka sampai padanya dan menguasainya. Ia tidak akan memperoleh buahnya, karena pada saat itu mustahil untuk mengeluarkan bisikan itu dari dalam kalbunya.
Mengenai Maqam-Maqam Spiritual
Pada suatu ketika beliau ditanya,
Bagaimana orang-orang di jalan Allah melihat pada amal tersembunyi dan bisikan kalbu? Beliau menjawab, “Melalui cahaya penglihatan yang Allah berikan kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam Hadits Suci, ‘Waspadalah dengan penglihatan orang yang beriman, karena ia dapat melihat dengan Cahaya Ilahi.’
Beliau ditanya mengenai menunjukkan kekuatan keramat. Beliau berkata,
Kekuatan keramat apa lagi yang kau inginkan melebihi kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan segala dosa pada diri kita dan di sekitar kita.
Beliau ditanya, “Siapakah si pembaca dan siapakan yang dimaksud Sufi dalam ucapakan Junaid, ‘Putuskan hubungan dirimu dengan si pembaca kitab, dan bertemanlah dengan orang-orang Sufi?’”
Beliau berkata,
Si pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, sedangkan Sufi adalah orang yang sibuk dengan inti dari nama-nama itu.
Beliau memperingatkan,
Jika seorang murid, seorang syekh, atau siapapun berbicara mengenai suatu maqam yang belum pernah dicapainya, Allah akan mengharamkannya untuk meraih maqam tersebut.
Beliau berkata,
Cermin setiap syekh mempunyai dua arah. Tetapi cermin kita mempunyai enam arah.
Beliau berkata,
Yang dimaksud dengan Hadits Suci, ‘Aku bersama orang yang mengingat-Ku,’ merupakan hujah dan bukti yang jelas untuk mendukung orang yang kalbunya selalu mengingat-Nya. Dan hadits lain dari Nabi (s) yang bersabda atas nama Allah, ash- shawmu li (‘puasa adalah untuk-Ku’) merupakan sebuah penegasan bahwa puasa yang sesungguhnya adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah.
Mengenai Kemiskinan Spiritual
Beliau ditanya,
Mengapa mereka disebut al-fuqara’? Beliau berkata,
Karena mereka miskin, tetapi mereka tidak perlu meminta. Seperti halnya Nabi Ibrahim (a), ketika beliau dilempar ke dalam api, kemudian Jibril (a) datang dan bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau memerlukan pertolongan?’, jawab beliau, ‘Aku tidak perlu meminta, Dia sangat mengerti keadaanku.’
Beliau berkata,
Kemiskinan merupakan suatu tanda fana dan penghapusan atribut keberadaan. Beliau berkata pada suatu ketika,
“Siapakah orang yang fakir?” Tidak ada orang yang menjawabnya. Beliau lalu berkata, “Orang yang fakir adalah orang yang di dalam dirinya selalu dalam keadaan berjuang tetapi di luarnya selalu dalam keadaan damai.”
Mengenai Adab dengan Syekh
Beliau berkata,
Para pengikut perlu menyadari bahwa bila ia merasa bingung atau tidak mengerti terhadap sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh Syekhnya, ia harus sabar dan tetap menjalankannya dan tidak menaruh kecurigaan. Jika ia seorang pemula, ia mungkin akan bertanya; tetapi bila ia seorang murid, ia tidak punya alasan untuk bertanya dan ia harus tetap bersabar terhadap apa yang belum ia pahami.
Beliau berkata,
Mustahil untuk meraih cinta para Awliyaullah hingga kalian keluar dari diri kalian sendiri.
Beliau berkata,
Dalam tarekat kita ada tiga kategori adab:
- Adab karimah terhadap Allah `azza wa jalla, yang menuntut murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik lahir maupun batin, menjauhi semua larangan- Nya dan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain daripada Allah.
- Adab karimah terhadap Nabi Muhammad (s), yang menuntut murid untuk terbang tinggi pada maqam in kuntum tuhibbun Allah fa-t-tabi`unii (‘Jika kamu ingin mencintai Allah, maka ikutilah aku’) [3:31]. Ia harus mengikuti seluruh keadaan Nabi (s). Ia harus tahu bahwa Nabi (s) adalah jembatan antara Allah dengan ciptaan-Nya dan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berada di bawah perintahnya.
- Adab karimah terhadap Syekh merupakan suatu persyaratan bagi setiap salik. Syekh merupakan asbab dan wasilah untuk mengikuti jejak Nabi (s). Merupakan tugas bagi setiap salik, baik dalam kehadiran maupun dalam ketidakhadirannya, untuk selalu menjaga perintah dari Syekh.
Pada suatu ketika seorang pengikutku memberi salam padaku. Aku tidak membalasnya, walaupun merupakan suatu keharusan menurut Sunnah untuk membalas orang yang memberi salam padamu. Hal ini membuat pengikutku kecewa. Aku mengutus seseorang untuk meminta maaf padanya, mengatakan kepadanya bahwa ‘Pada saat itu, ketika engkau memberi salam padaku, pikiranku, kalbuku, ruhku, tubuhku, jiwaku seluruhnya sedang lenyap di dalam Hadratillah, mendengarkan apa yang Allah katakan kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpesona dengan Kalamullah sehingga aku tidak mampu untuk memberi respons pada orang lain.’
Mengenai Niat
Beliau berkata,
“Meluruskan niat adalah sangat penting, karena niat berasal dari Alam Gaib, bukan dari dunia materi.” Untuk itu beliau mengatakan, “Ibn Siriin (seorang penulis kitab takwil mimpi) tidak melakukan salat jenazah terhadap Hasan al-Basri. Beliau berkata, ‘Bagaimana aku dapat melakukan salat ketika niatku belum sampai padaku untuk menghubungkan aku dengan Alam Gaib?’”
Beliau melanjutkan,
Niat (niyyah) itu sangat penting, karena ia terdiri dari tiga huruf: Nun, yang melambangkan nurullah, Cahaya Ilahi; ya, yang melambangkan yadullah, Tangan Allah; dan ha, yang melambangkan hidayatullah, Petunjuk Allah. Niat adalah Hembusan Jiwa.
Mengenai Tugas para Awliya
Beliau berkata,
Allah menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik tetapi orang- orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan materialistik mereka.
Beliau berkata,
Para Awliyaullah menanggung beban penciptaan agar makhluk itu belajar dari mereka. Allah melihat kalbu Awliya-Nya dengan Cahaya-Nya, dan barang siapa yang berada di sekitar wali itu, ia akan mendapat berkah dari cahaya itu.
Seorang Syekh harus mengetahui keadaan murid-muridnya dalam tiga kategori: masa lalu, masa sekarang dan masa depan, agar ia dapat menaikkan maqamnya.
Siapapun yang telah mengambil bay’at dengan kami, mengikuti kami dan mencintai kami, baik dekat atau jauh, bahkan jika ia berada di Timur sedangkan kami di Barat, kami memeliharanya dari aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.
Mengenai Zikir Jahar dan Zikir Khafi
Sejak kehadiran al-`Azizan, terdapat dua metode zikir: zikir jahar dan zikir khafi. Aku lebih menyukai zikir khafi karena ia lebih kuat dan lebih disarankan.
Ijazah untuk melakukan zikir harus diberikan oleh seorang Insan Kamil, agar ia dapat memberikan pengaruh kepada orang yang menggunakannya, sebagaimana panah dari seorang Ahli Memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.
Beliau menambahkan Tiga Prinsip ke dalam Delapan Prinsip Syekh `Abdul Khaliq (q):
9. Kesadaran akan Waktu (“wuquf zamani“)
Itu artinya memperhatikan ketenangan dan mengecek kecenderungan seseorang terhadap kelalaian. Seorang salik harus mengetahui berapa lama waktu yang ia habiskan dalam terus berkembang menuju kematangan spiritual dan ia harus mengenali di mana ia telah sampai dalam perjalanannya menuju Hadratillah.
Seorang salik harus membuat kemajuan dengan segala upayanya. Ia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan, yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadratillah. Ia harus menyadari bahwa di dalam semua upaya dan segala tindakannya Allah menyaksikan hingga sedetail-detailnya.
Seorang salik harus mengevaluasi semua perbuatan dan niatnya baik siang dan malam, dan menganalisa perbuatannya setiap jam, setiap detik dan setiap saat. Jika semuanya baik, ia harus bersyukur kepada Allah untuk itu. Tetapi bila buruk, ia harus bertobat dan memohon ampunan Allah.
Ya’qub al-Charki (q) mengatakan bahwa Syekhnya, Ala’uddin al-Aththar (q) berkata, “Dalam keadaan tertekan kalian harus banyak beristighfar, sementara dalam keadaan gembira, perbanyaklah memuji Allah.” Dan beliau berkata, “Mempertimbangkan kedua keadaan ini, yaitu kontraksi dan ekspansi, itu adalah makna dari wuquf zamani.”
Syah Naqsyband (q) menjelaskan keadaan itu dengan mengatakan, “Kalian harus menyadari tentang diri kalian. Jika kalian mengikuti Syari`ah, maka kalian harus bersyukur kepada Allah, bila tidak kalian harus memohon ampun.”
Yang penting bagi seorang salik dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil. Ia harus menjaga dirinya dan menilai apakah ia berada dalam Kehadiran Allah atau kehadiran egonya, dalam setiap saat kehidupannya.
Syah Naqsyband (q) berkata, “Kalian harus mengevaluasi bagaimana kalian mengisi setiap waktu kalian: dengan Kehadiran atau dalam Kelalaian.”
10. Kesadaran akan Jumlah (“wuquf `adadi“)
Ini berarti bahwa seorang salik yang melakukan zikir harus memperhatikan jumlah pasti dalam pengulangan yang diperlukan dalam zikir khafi di dalam kalbu. Menjaga hitungan zikir ini bukan demi perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga keamanan kalbu dari pikiran buruk dan untuk lebih meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syekh secepat mungkin.
Pilar zikir melalui perhitungan adalah membawa kalbu kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam zikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada hakikat bahwa setiap orang membutuhkan Dia yang Tanda-Tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.
Syah Naqsyband (q) berkata, “Memperhatikan jumlah zikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan Ilmu Surgawi (`ilm ul-ladunni).” Ini berarti perhitungan itu mengantarkan orang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Seluruh makhluk membutuhkan Dzat Yang Maha Esa.
11. Kesadaran Kalbu (“wuquf qalbi“)
Ini berarti mengarahkan kalbu sang salik menuju Hadirat Ilahi, di mana ia tidak akan melihat sesuatu yang lain daripada Yang Paling Dicintainya. Itu artinya mengalami Tajali-Nya dalam semua keadaan. Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Keadaan Kesadaran Kalbu berarti keadaan hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga kalian tidak bisa melihat yang lain kecuali Dia.”
Dalam keadaan demikian seseorang memusatkan tempat zikirnya dalam kalbu sebab ini adalah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik dan buruk, terasa dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan di dalam hati. Zikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi turbulensi kalbu itu.
Makna dari Umat Muhammad (s)
Beliau berkata,
Ketika Nabi (s) bersabda, ‘Bagian umatku yang ditakdirkan untuk Neraka adalah seperti bagian Ibrahim (a) yang ditakdirkan untuk api Namrud,’ beliau memberi kabar gembira tentang keselamatan bagi umatnya sebagaimana Allah telah menuliskan keselamatan bagi Ibrahim (a), “Ya naru kunii bardan wa salaman `ala Ibraham (‘Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim’) [21:69] Hal ini karena Nabi (s) bersabda, ‘Umatku tidak akan pernah setuju dengan suatu kesalahan,’ menegaskan bahwa umat tidak akan pernah mau menerima kesalahan, sehingga Allah akan menyelamatkan Umat Muhammad (s) dari Neraka.
Syekh Ahmad Faruqi (q) mengatakan bahwa Syah Naqsyband (q) berkata, “Umat Muhammad (s) termasuk siapapun yang muncul setelah Nabi (s). Umat ini terdiri dari tiga macam:
1. Ummatu-d-Da`wah: yaitu setiap orang yang secara mutlak muncul setelah Nabi (s) dan mendengar risalah beliau. Dari banyak ayat di dalam al-Qur’an, sudah jelas bahwa Nabi (s) datang kepada semua orang tanpa kecuali; lebih jauh lagi, umatnya cukup menjadi saksi bagi umat yang lain, dan Nabi (s) adalah saksi bagi setiap orang, termasuk umat lainnya dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
2. Ummatu-l-Ijaba: yaitu orang-orang yang menerima risalahnya.
3. Ummatu-l-Mutaba`a: yaitu orang-orang yang menerima risalahnya dan mengikuti jejak Nabi (s).
Semua kategori umat Nabi (s) ini selamat. Jika mereka bukan diselamatkan karena amal mereka sendiri, mereka akan diselamatkan melalui Syafaat Nabi (s), sebagaimana sabda beliau, “Syafaatku adalah untuk para pendosa besar di antara umatku.”
Mengenai Mencapai Hadratillah
Beliau berkata,
Apakah makna hadits Nabi (s), “Ash-shalatu mi`raj ul-mu’min (“Salat adalah kenaikan bagi Mukmin”)? Itu merupakan tanda yang jelas mengenai tingkatan Salat Sejati, di mana orang yang melakukan salat naik ke Hadratillah dan di dalam dirinya terwujud rasa kagum, penghormatan, ketaatan dan kerendahan hati saat kalbunya mencapai keadaan muraqabah melalui salatnya. Hal ini akan mengantarkannya kepada musyahadah pada Rahasia-Rahasia Ilahi. Itulah gambaran mengenai salatnya Nabi (s). Di dalam Sirah Nabawiyyah dikatakan bahwa ketika Nabi (s) mencapai keadaan tersebut, bahkan orang-orang di luar kota dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.
Salah seorang ulama di Bukhara bertanya kepadanya, “Bagaimana seseorang dapat mencapai Hadratillah melalui salatnya?” Beliau menjawab, “Dengan memakan dari hasil jerih payahnya dan melalui Zikrullah di dalam salatmu dan di luar salatmu, dalam setiap wudumu dan dalam setiap saat kehidupanmu.”
Mengenai Syirik Tersembunyi
Syekh Salah, pelayannya melaporkan, “Syah Naqsyband (q) pada suatu ketika berkata kepada para pengikutnya, Hubungan antara kalbu kalian dengan sesuatu selain Allah adalah hijab terbesar bagi seorang salik,’ setelah itu beliau membaca syair puisi berikut ini:
Hubungan dengan selain Allah Adalah hijab yang terkuat, Dan meninggalkannya,
adalah Pembuka bagi suatu Pencapaian.
Segera setelah beliau membaca syair ini, sesuatu terlintas di dalam kalbuku bahwa beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan Islam. Beliau memandangku dan tertawa, lalu beliau berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? “Aku menolak agama Allah, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak mengejutkan bagi Muslim.” Wahai Syekh Salah, apa yang terlintas dalam kalbumu–bahwa hubungan itu adalah antara Iman dan Islam — bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi para Shiddiqin yaitu dengan membuat kalbu menyangkal segala sesuatu selain Allah. Itulah yang membuat Hallaj mengatakan, “Aku menolak agama-Mu dan penolakan ini adalah wajib bagiku, meskipun tampak mengejutkan bagi Muslim.” Kalbunya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah.”
“Tentu saja Hallaj, tidak menyangkal keimanannya dalam Islam, tetapi menekankan ikatan kalbunya kepada Allah saja. Jika Hallaj tidak menerima segala sesuatu kecuali Allah, bagaimana orang dapat mengatakan bahwa ia sebenarnya menyangkal agama Allah? Pernyataannya tentang hakikat musyahadahnya mencakup segalanya dan membuat kesaksian awam dari kebanyakan Muslim menjadi tidak ada apa- apanya.”
Syekh Salah melanjutkan bahwa Syah Naqsyband (q) berkata, “Orang-orang di Jalan Allah tidak mengagumi apa yang mereka lakukan; mereka melakukannya hanya karena cintanya kepada Allah.”
Syah Naqsyband (q) berkata,
Rabi’a al-’Adawiyya (q) berkata, ‘Ya Allah, aku tidak beribadah dengan mengharapkan balasan Surga-Mu, dan tidak pula takut akan siksa-Mu, namun aku menyembah-Mu hanya demi Cinta-Mu.’ Jika ibadah kalian hanya untuk menyelamatkan diri kalian sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi diri kalian, maka itu adalah syirik tersembunyi, karena kalian telah menyekutukan sesuatu dengan Allah, baik berupa pahala atau dosa. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.
Syekh Arslan ad-Dimasyqi (q) mengatakan–sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syah Naqsyband (q),
Ya Allah, Agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik tersembunyi dan tidak mengimaninya merupakan kewajiban bagi setiap hamba sejati. Orang-orang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya menyembah-Mu untuk meraih Surga atau agar selamat dari Neraka. Merereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan itu adalah seburuk-buruknya kemusyrikan. Kau mengatakan, “man yakfur bi ’t-taghuuti wa yu’min bi ‘l-Laahi faqad istamsaka bi ‘l-`urwati ‘l- wutsqa (“Barang siapa yang ingkar kepada thagut (berhala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada Tali yang Kokoh”) [2:256].
Untuk mengingkari berhala-berhala ini dan untuk beriman kepada-Mu merupakan suatu kewajiban bagi para Shiddiqin.
Syekh Abul-Hasan asy-Syadzili (q), salah seorang Syekh Sufi besar ditanya oleh Syekhnya, “Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu dengan Tuhanmu?” Beliau berkata, “Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.” Syekhnya berkata,
“Wahai anakku, jangan pernah kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih datang kepada-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu dari segala sesuatu kemudian datanglah kepada-Nya. Para fuqaha dan pemegang ilmu lahir (eksternal) memegang teguh pada amal mereka dan pada asas tersebut, mereka mengembangkan konsep pahala dan dosa. Jika mereka baik, mereka akan mendapati kebaikan tetapi bila mereka buruk, mereka akan mendapati keburukan; yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah amalnya dan yang menyakitinya adalah amalnya juga. Bagi para ahli tarekat, ini adalah syirik tersembunyi, karena orang itu menyekutukan sesuatu dengan Allah. Meskipun merupakan suatu kewajiban untuk melakukan (amal baik), namun demikian kalbu tidak boleh terikat dengan amal- amal itu. Amal itu hanya dilakukan karena Allah dan demi Cinta-Nya, tanpa mengharapkan sesuatu sebagai balasannya.”
Mengenai Tarekat Naqsybandi
Syah Naqsyband (q) berkata,
Tarekat kita sangat langka dan sangat berharga. Ia merupakan `urwati ‘l-wutsqa (“Memegang Teguh”), jalan untuk memegang jejak Nabi (s) dan para Sahabat dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke tarekat ini dari pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, aku tidak menyaksikan apa-apa kecuali Nikmat Allah. Dalam tarekat ini pintu-pintu besar dari Ilmu Surgawai akan dibukakan bagi para salik yang mengikuti jejak Nabi (s).
Mengikuti Sunnah Nabi (s) merupakan jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepada kalian. Beliau berkata, “Barang siapa yang tidak masuk ke dalam tarekat kita, agamanya berada dalam bahaya.” Beliau ditanya, “Bagaimana seseorang dapat memasuki tarekatmu?” Beliau menjawab, “Dengan mengikuti Sunnah Nabi (s).”
Beliau berkata,
Kita telah menanggung penghinaan dalam tarekat ini dan sebagai balasannya Allah memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.
Beberapa orang mengatakan mengenai beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau mengatakan, “Kita bangga karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kita, yang memberikan Dukungan-Nya kepada kita!”
Beliau berkata,
Meraih Rahasia-Rahasia Tauhid kadang-kadang mungkin, tetapi untuk mencapai Rahasia-Rahasia Makrifat hal itu sungguh sangat sulit.
Beliau berkata,
Ilmu Spiritual bagaikan air, ia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Ilmu Allah begitu luar biasa, sehingga berapapun kita ambil, itu seperti setetes dari samudra yang luas. Ia seperti taman yang sangat luas sehingga berapapun yang kita pangkas, seolah-olah kita hanya memotong sekuntum bunga saja.
Pandangannya mengenai Makanan
Syah Naqsyband (q), semoga Allah mensucikan jiwanya, berada pada tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan duniawi. Beliau mengikuti jalan zuhud, khususnya dalam hal makan. Beliau mengambil semua tindakan pencegahan terkait masalah makanan. Beliau hanya makan dari jelai yang beliau tanam sendiri. Beliau yang memanennya, menggilingnya dan membuat adonan, dan membakarnya sendiri. Semua ulama dan para salik di zamannya biasa mampir ke rumahnya untuk makan di mejanya dan mengambil keberkahan dari makanannya.
Beliau mencapai suatu kesempurnaan dalam penghematan sehingga di musim dingin beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya, dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim panas, beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang miskin dan yang membutuhkan. Beliau mendoroang para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan bekerja keras dengan keringatnya sendiri. Beliau menganjurkan kepada mereka untuk membagi uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka untuk senantiasa berada di Hadratillah. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan lalai, beliau akan menegurnya melalui penglihatan spiritualnya dan mengingatkan kepada mereka untuk tetap menjaga zikrullah ketika sedang makan.
Beliau mengajarkan bahwa,
Salah satu dari pintu terpenting menuju Hadratillah adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.
Pada suatu hari beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang pengikutnya telah menyiapkan makanan untuknya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband (q) berkata, “Wahai anakku, aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya engkau berada dalam keadaan marah. Makanan itu bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakannya, Setan akan menemukan jalan masuk melaluinya dan menyebarkan sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.”
Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, yaitu Raja Hussain. Beliau sangat gembira menyambut kedatangan Syah Naqsyband (q) dan mengadakan jamuan besar untuknya. Beliau mengundang semua menterinya, syekh-syekh di kerajaannya dan semua tokoh terpandang. Beliau berkata, “Makanlah dari makanan ini. Ini adalah makanan yang murni yang kubuat dari uang yang halal dari warisan ayahku.” Semua orang makan kecuali Syah Naqsyband (q). Hal itu membuat Syekh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, bertanya, “Wahai Syekh kami, mengapa engkau tidak makan?” Syah Naqsyband (q) berkata, “Aku mempunyai seorang hakim tempat aku berkonsultasi. Aku bertanya padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, ada dua kemungkinan mengenai makanan ini.
Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau bisa mengatakan, “Aku datang ke meja seorang raja tetapi aku tidak makan,” maka engkau aman karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, lalu bagaimana engkau akan menjawabnya? Artinya engkau tidak aman.’ Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini sehingga ia mulai gemetar. Ia harus meminta izin raja untuk berhenti makan. Raja menjadi sangat kebingungan dan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan dengan semua makanan ini?” Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika masih ada keraguan mengenai kemurnian makanan ini, lebih baik membagikannya kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan ini) akan menjadikannya halal bagi mereka. Jika makanan ini halal, sebagaimana yang kau katakan, maka akan lebih berkah untuk memberikannya sebagai sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya daripada memberikannya dalam jamuan bagi orang-orang yang tidak memerlukannya.”
Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk bersamanya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya.
Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Nabi (s) biasa melakukan
Syekh Abul Hasan al-Kharqani (q) mengatakan di dalam kitabnya, Prinsip-Prinsip Tarekat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat, “Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa.” Ini artinya bahwa jika engkau berpuasa, kemudian ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk dan makan bersamanya demi menjaga adab berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika ia membukanya, misalnya dengan mengatakan kepada tamu itu bahwa ‘Aku sedang berpuasa,’ maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya dan merusak puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.”
Suatu hari beliau diberi seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Bersamanya ada banyak orang miskin yang di antaranya ada seorang anak yang sangat saleh yang sedang berpuasa. Syah Naqsyband (q) memberi ikan itu kepada mereka dan berkata, “Silakan duduk dan makanlah.” Beliau juga berkata kepada anak yang sedang berpuasa itu, “Silakan duduk dan makanlah.” Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, “Batalkan puasamu dan makanlah,’ tetapi ia tetap menolak. Beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana jika akau memberimu salah satu hariku di bulan Ramadan? Apakah engkau akan duduk dan makan?” Sekali lagi ia menolak. Beliau berkata kepadanya, “Bagaimana jika aku memberimu seluruh hariku di bulan Ramadan?
Apakah engkau akan duduk dan makan?” Lagi-lagi ia menolak. Beliau berkata, “Bayazid al-Bisthami (q) pernah dibebani orang sepertimu.” Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling mengejar kehidupan duniawi, tidak pernah puasa dan tidak pernah lagi beribadah.
Insiden yang dimaksud oleh Syah Naqsyband (q) terjadi ketika pada suatu hari Syekh Abu Turab an-Naqsybandi (q) mengunjungi Bayazid al-Bisthami (q).
Pelayannya menawarinya makanan. Syekh Abu Turab berkata kepada pelayan itu, “Mari sini duduk dan makan denganku.” Pelayan itu berkata, “Tidak, aku sedang berpuasa.” Ia berkata, “Makanlah, dan Allah akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.” Ia tetap menolaknya. Syekh Abu Turab berkata lagi, “Ayo makanlah, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia memberimu pahala dua tahun berpuasa.” Kemudian Hadhrat Bayazid (q) berkata, “Biarkan dia. Allah tidak lagi memeliharanya.” Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan ia menjadi seorang pencuri.
Keramat dan Kemurahannya
Maqam Syah Naqsyband (q) di luar jangkauan untuk dapat dilukiskan dan pengetahuannya pun tidak dapat digambarkan. Salah satu dari keramatnya yang terbesar adalah keberadaannya sendiri. Beliau sering menyembunyikan perbuatannya untuk tidak memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Namun demikian banyak murid yang mencatat keramatnya tersebut.
Syah Naqsyband (q), semoga Allah memberkati jiwanya, berkata,
Pada suatu hari aku pergi bersama Muhammad Zahid (q) ke gurun. Ia adalah seorang murid terpercaya dan kami mempunyai sebuah beliung untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami membahas tentang maqam ilmu yang dalam, sehingga kami letakkan beliung itu dan melanjutkan pembahasan kami mengenai ilmu spiritual. Kami masuk semakin dalam dan dalam hingga percakapan kami sampai pada sifat-sifat ibadah. Ia bertanya kepadaku, ‘Wahai Syekhku, sampai batas mana yang dapat dicapai melalui ibadah?’ Aku berkata, ‘Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat mengatakan kepada seseorang ‘mati,’ dan orang itu menjadi mati.’ Tanda sadar, tanganku menunjuk pada Muhammad Zahid. Dengan segara ia pun meninggal dunia. Ia mengalami keadaan itu sejak matahari terbit hingga tengah hari. Saat itu sangat panas. Aku sangat khawatir tubuhnya akan rusak akibat kondisi yang panas sekali. Aku lalu menariknya ke bawah pohon dan aku duduk di sana merenungkan persoalan ini. Saat itu datanglah sebuah ilham ke dalam kalbuku dari Hadratillah yang mengatakan kepadaku untuk berkata kepadanya, ‘Ya Muhammad, hiduplah!’ Aku mengatakannya tiga kali. Alhasil ruhnya perlahan-lahan mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali kepadanya. Secara perlahan ia kembali pada keadaannya semula. Kemudian aku pergi menemui syekhku dan mengatakan apa yang terjadi. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, Allah memberimu rahasia yang tidak pernah diberikan-Nya kepada orang lain.’
Syekh Alauddin al-Aththar (q) berkata,
Pada suatu ketika raja Transoxiana, yaitu Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Ia memutuskan untuk pergi berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang mendampinginya. Syah Baha’uddin Naqsyband (q) berada di desa sekitarnya. Ketika orang-orang pergi berburu, Syah Naqsyband (q) pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau duduk di sana, terpikir olehnya bahwa Allah sangat memuliakan para awliya, sehingga semua raja di dunia ini akan membungkuk pada mereka. Belum lagi pikiran itu berlalu dari kalbunya, tiba-tiba seorang penunggang kuda dengan sebuah mahkota di kepalanya, seperti seorang raja, mendatanginya dan turun dari kudanya. Dengan sangat rendah hati, ia memberi salam pada Syah Naqsband (q) dan berdiri di sana dengan penuh adab. Ia membungkuk pada syekh, tetapi syekh tidak melihatnya. Raja pun tetap berdiri selama satu jam. Akhirnya Syah Naqsyband (q) melihatnya dan berkata, ‘Apa yang kau lakukan di sini?’ Ia berkata, ‘Aku adalah seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang berburu, kemudian aku mencium wangi yang sangat indah. Aku mengikuti wangi itu hingga ke sini dan aku menemukan engkau sedang duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.’ Pikirannya tadi, bahwa ‘Semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada para awliya,’ langsung menjadi kenyataan. Dan itulah cara Allah memuliakan pikiran para awliya-Nya.
Salah seorang pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan,
Suatu hari aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah aku menerima kabar bahwa saudaraku Syamsuddin telah meninggal dunia. Aku perlu meminta izin dari syekhku untuk pergi. Aku bicara dengan Amir Hussain, Pangeran dari Herat untuk memintakan izin atas namaku kepada Syah Naqsyband (q). Sekembalinya dari Salat Jumat, Amir Hussain menyampaikan kabar mengenai wafatnya saudaraku dan bahwa aku mau meminta izin untuk menemui keluargaku. Beliau berkata, ‘Tidak, itu mustahil. Bagaimana engkau mengatakan bahwa ia telah wafat sedangkan aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, aku bahkan dapat mencium wanginya. Aku akan membawanya ke sini.’ Baru saja beliau mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba saudaraku muncul. Ia mendekati syekh, mencium tangannya dan menyapa Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan kami sangat bahagia saat itu. Syekh Alauddin al-Aththar (q) berkata,
Pada suatu ketika Syah Naqsyband (q) menghadiri sebuah pertemuan besar di Bukhara yang membicarakan tentang Penyingkapan Maqam Musyahadah. Beliau berkata, ‘Sahabatku, Mawla `Arif, yang tinggal di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk mendatangi gedung pemerintah, dan ia tiba di stasiun kereta kuda dan tinggal beberapa saat di sana. Sekarang ia kembali ke rumahnya di Khwarazm. Ia tidak melanjutkan perjalanannya ke Saray. Beginilah cara seorang wali dapat melihat dalam maqam makrifatnya.’ Setiap orang terkejut dengan cerita ini, tetapi kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, jadi kami mencatat hari dan waktunya. Pada suatu hari Mawla `Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami menceritakan insiden itu kepadanya. Ia sangat terkejut dan ia berkata, ‘Sejujurnya, itulah yang sesungguhnya terjadi.’”
Beberapa ulama dari Bukhara melakukan perjalanan ke Irak bersama sejumlah murid Syah Naqsyband (q) ketika mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada seorang yang diberkati yang bernama Sayyid Mahmud yang merupakan seorang murid Syah Naqsyband (q). Mereka mengunjungi rumahnya dan bertanya, “Bagaimana engkau dapat terhubung dengan Syekh?” Beliau berkata, “Pada suatu hari, aku bertemu Nabi (s) di dalam mimpi, beliau duduk di tempat yang sangat indah, dan di sebelahnya duduk seseorang dengan penampilan yang megah. Aku bertanya kepada Nabi (s) dengan penuh hormat dan dengan rendah hati, ‘Ya Rasulallah (s), aku tidak mendapat kehormatan untuk menjadi Sahabatmu di zamanmu. Apa yang dapat kulakukan semasa hidupku agar dapat mendekati kehormatan itu?’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, jika engkau ingin mendapat kehormatan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberikati, kau harus mengikuti putraku, Syah Baha’uddin Naqsyband (q).’ Kemudian aku bertanya, ‘Siapakah Syah Baha’uddin Naqsyband itu?’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Apakah engkau melihat orang yang duduk di sampingku?
Beliaulah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.’ Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika aku bangun aku menuliskan namanya dan ciri- cirinya yang dijelaskan di dalam sebuah kitab yang kumiliki di perpustakaanku. Setelah itu hari-hari pun berlalu hingga pada suatu hari, ketika aku berdiri di sebuah toko, aku melihat seseorang yang penampilannya sangat megah dan berkilau. Beliau datang ke toko itu dan duduk di sebuah kursi. Ketika aku melihatnya, aku ingat kembali dengan mimpiku dan apa yang terjadi di dalam mimpi itu. Dengan segera aku bertanya apakah beliau berkenan untuk memberikan kehormatan kepadaku dengan mampir ke rumahku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku, sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku malu untuk berjalan di depan beliau, bahkan untuk mengantarkannya ke rumahku. Beliau sama sekali tidak menoleh padaku, tetapi langsung mengarahkan langkahnya menuju rumahku. Baru saja aku ingin mengatakan, ‘Ini rumahku,’ ketika beliau berkata, ‘Ini rumahmu.’
Beliau masuk ke dalam dan langsung menuju kamarku. Beliau berkata, ‘Ini kamarmu.’ Beliau menuju ke lemari dan mengambil sebuah kitab di antara ratusan kitab. Beliau menyerahkannya kepadaku dan bertanya, ‘Apa yang kau tulis di dalam kitab ini?’ Apa yang kutulis adalah apa yang kulihat di dalam mimpiku. Tiba-tiba aku menjadi tidak sadar dan pingsan akibat cahaya yang dicurahkan ke dalam kalbuku. Ketika aku terbangun aku bertanya kepadanya apakah beliau mau menerimaku. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband (q).”
Syekh Muhammad Zahid (q) berkata,
Di awal perjalananku dalam Tarekat ini pada suatu hari di musim semi aku duduk di samping beliau. Tiba-tiba pikiran untuk memakan semangka masuk ke dalam kalbuku. Beliau memandangku dan berkata, ‘Muhammad Zahid, pergilah ke sungai di dekat sana, bawakan apa yang kau temui dan kita akan memakannya.’ Aku segera pergi ke sungai itu, airnya sangat dingin. Aku masuk ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka yang sangat segar di dalam air, seolah-olah ia baru saja dipotong dari dahannya. Aku sangat gembira dan aku membawa semangka itu dan berkata, ‘Wahai Syekhku, terimalah aku.
Dilaporkan bahwa salah satu muridnya pergi menemuinya. Sebelum kunjungan itu, ia meminta nasihat dari Syekh Shadi, seorang murid senior, “Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai saudaraku, ketika engkau mengunjungi syekh atau ketika engkau berada dalam hadiratnya, berhati-hatilah jangan sampai engkau meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadapnya.’ Segera setelah aku meninggalkan Ghaziut dan berjalan menuju Qasr al-`Arifan, aku menemukan sebuah pohon dan aku beristirahat di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya ada seekor bintang yang datang dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tidur, binatang itu menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan besar, aku telah menghadapkan kakiku ke arah syekh. Aku segera bertobat dan binatang yang menggigitku pun pergi.”
Suatu ketika beliau didesak untuk menunjukkan keramatnya untuk membela seorang penerusnya di Bukhara, yaitu Syekh Muhammad Parsa. Peristiwa ini terjadi ketika Syekh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, pada masa Kesultanan Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran sanad dalam riwayat Hadits. Beberapa ulama yang korup dan iri mengeluh bahwa Syekh Muhammad Parsa memberikan riwayat hadits yang sanadnya tidak diketahui. Mereka mengatakan kepada Syamsuddin, “Jika engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah akan memberimu pahala yang besar.” Syekh Muhammad Syamsuddin meminta kepada Sultan untuk memanggil Syekh Muhammad Parsa. Syekh al-Islam di Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama banyak ulama dan imam dari daerah itu.
Syah Naqsyband (q) datang bersama Muhammad Parsa (q) ke pertemuan itu. 100
Kemudian Syekh Husamuddin bertanya kepada Muhammad Parsa mengenai sebuah hadits. Muhammad Parsa meriwayatkan hadits tersebut dengan mata rantai transmisinya. Syekh Muhammad al-Jazari berkata, “Tidak ada yang salah dalam haditsnya, tetapi sanadnya tidak benar.” Mendengar hal ini para ulama yang iri menjadi gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa untuk memberi sanad lain untuk hadits tersebut. Ia melakukannya, dan sekali lagi dinyatakan tidak benar.
Kemudian mereka meminta lagi untuk sanad yang lain, tetapi lagi-lagi mereka menemukan kesalahan di dalamnya.
Syah Naqsyband (q) kemudian turun tangan, karena beliau tahu bahwa apapun sanad yang diberikan, mereka tetap akan mengatakan tidak benar. Beliau mengilhami Muhammad Parsa untuk mengarahkan sebuah pertanyaan kepada Syekh Husamuddin dan mengatakan kepadanya, “Engkau adalah Syekh ul-Islam, dan mufti. Dari apa yang telah kau pelajari mengenai ilmu lahir dan Syari`ah dan ilmu hadits, bagaimana menurutmu tentang periwayat tersebut?” Syekh Husamuddin berkata, “Kami menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak ilmu hadits kami dari riwayatnya, dan kitabnya dapat kami terima, dan silsilahnya adalah salah satu yang diterima oleh para ulama, dan tidak ada perdebatan mengenai hal itu.” Muhammad Parsa berkata, “Kitab orang itu yang kau terima ada di rumahmu, di perpustakaanmu, antara kitab ini dan ini dan ia berisi 500 halaman dan warnanya adalah ini, dan sampulnya seperti ini, dan hadits yang kalian tolak ditulis oleh orang itu pada halaman ini dan ini.”
Syekh Husamuddin menjadi bingung dan keraguan muncul di dalam kalbunya, karena ia tidak mengingat ada kitab semacam itu di perpustakaannya. Setiap orang terkejut bahwa Syekh tahu mengenai kitab itu sedangkan yang punya saja tidak mengetahui mengenai hal itu. Tidak ada alternatif lain kecuali mengirim seseorang untuk memeriksanya. Hadits tersebut dapat ditemukan sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Parsa. Ketika Sultan mendengar cerita ini, para ulama yang membawa masalah ini dihinakan, sementara Syah Naqsyband (q) dan Muhammad Parsa mendapat kemuliaan.
Keadaannya ketika Meninggalkan Dunia Fana Ini
Syekh Ali Damman, salah seorang pelayan Syekh berkata, “Syekh memerintahkan aku untuk menggali kuburnya. Ketika aku selesai, aku bertanya dalam hati, ‘Siapa yang akan menjadi penerusnya?’ Beliau mengangkat kepalanya dari bantal dan berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, jangan melupakan apa yang telah kukatakan padamu ketika engkau dalam perjalanan ke Hijaz. Siapapun yang ingin mengikutiku, ia harus mengikuti Syekh Muhammad Parsa (q) dan Syekh Ala’uddin al-Aththar (q).’
Pada hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di dalam kamarnya. Orang-orang berdatangan mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir, beliau mengunci dirinya di kamarnya. Gelombang demi gelombong pengikutnya berdatangan silih berganti dan beliau memberi mereka nasihat yang mereka perlukan. Pada satu saat beliau memerintahkan mereka untuk membaca Surat Ya Siin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau mengangkat tangannya berdoa kepada Allah. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuk kanannya untuk mengucapkan syahadat. Tak lama kemudian ruhnya kembali kepada Allah (swt).
Beliau wafat pada hari Ahad malam, 3 Rabiul Awal 791 H. (1388 M). Beliau dimakamkan di halaman rumahnya, sebagaimana permintaannya. Penerus Sultan Bukhara merawat madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya.
Abdul Wahhab asy-Sya`arani, sang Qutub di zamannya berkata, “Ketika Syekh dikuburkan di makamnya, sebuah jendela Surga dibukakan baginya, menjadikan kuburnya sebagai Rawdhatul Jannah. Dua makhluk spiritual yang indah memasuki hadiratnya, memberi salam padanya dan berkata kepadanya, “Sejak Allah menciptakan kami hingga sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayanimu.’ Beliau berkata kepada kedua makhluk spiritual itu, “Aku tidak menginginkan apapun kecuali Dia. Aku tidak memerlukan kalian, tetapi aku memerlukan Tuhanku.’
Syah Naqsyband (q) meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Ala’uddin al-Khwarazmi al- Bukhari al-Aththar dan Syekh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis kitab Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband (q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan.